KAHARINGAN

Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan. Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan belum (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying. Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk, dengan demikian suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara.

Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Adat rukun kematian Kaharingan

Jenis atau istilah adat rukun kematian Kaharingan meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, Wara Myalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, Marabia “Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan September setiap tahun” kecuali untuk mati Kaharingan Lawangan upacara kematiannya disebut Wara.

Ketentuan waktu lamanya upacara adat rukun kematian Kaharingan masing-masing :

  • Ngalangkang bisa paling lama 2 (dua) hari atau menyesuaikan tradisi leluhur.
  • Wara bisa 3 (tiga) hari, (tidak sampai memotong kerbau)
  • Wara bisa 5 (lima) hari membunuh kerbau
  • Wara Nyalimbat 14 (empat belas) hari
  • Nambak bisa 3 (tiga) hari
  • Ijambe bisa 7 (tujuh) hari
  • Marabia bisa 7 (tujuh) hari
  • Manenga Lewu 7 (tujuh) hari
  • Kedaton bisa 9 (sembilan) hari
  • Ngatet Panuk 2 (dua) hari
  • Ngandrei Apui Ramai 3 (tiga) hari, dan 7 (tujuh) hari hanya untuk para tokoh,

THINK GLOBAL ACT LOCAL-TANTANGAN PENDIDIKAN KITA DI ERA GLOBAL

Perubahan yang mencengangkan dalam bidang iptek pada enam dekade terakhir telah membuat dunia menjadi begitu kompleks dan saling bergantung satu sama lain. Adanya ledakan ilmu pengetahuan, revolusi ICT, gelombang demokrasi, semuanya membutuhkan keterampilan yang kompleks, dan harus dimengerti serta dikuasai oleh generasi muda suatu bangsa.

Bagaimana mewujudkan perspektif global dalam konteks lokal? Tentu saja bukan dengan memaksakan nilai-nilai setempat agar diterima di seluruh dunia.

Mengembangkan perpektif global berarti berupaya lebih memahami, menerima, dan memberikan wawasan yang lebih luas. Setiap negara memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda. Bertindak secara lokal berarti melakukan perubahan sesuai dengan prioritas masing-masing daerah, memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki tiap daerah. Thinking global, Acting Local juga berarti bagaimana keterampilan dan nilai-nilai yang disesuaikan dengan konteks lokal apa yang harus ditanamkan pada siswa untuk menghadapi dunia global. Apa yang sekolah dapat lakukan terhadap anak didiknya bukan sekedar mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia mereka saja. Lebih dari itu, dunia mereka yang cepat berubah baik dari segi informasi, ekonomi global maka bagaimana sekolah membentuk nilai-nilai kehidupan agar kelak generasi muda dapat hidup bersama. Adanya perubahan akan memicu timbulnya gesekan di antara perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh karena itu dengan tetap mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada siswa maka niscaya mereka dapat hidup bersama di tengah kemajuan teknologi. Hal ini merupakan salah satu amanat UNESCO yaitu learning to live together. Menurut UNESCO’s Universal Declaration of Cultural Diversity, manusia dikenali dan bersatu oleh perbedaan dan keragaman jenis kelamin, usia, bahasa, budaya, ras dan sebagainya. Keragaman ini menantang intelektual dan emosi kita saat kita belajar untuk bekerja dan hidup bersama dalam keharmonisan (http://portal.unesco.org/education). Jadi siswa harus dipersiapkan agar berkompeten dalam berpartisipasi di lingkungan yang beragam dan saling berhubungan dalam dunia saat sekarang yang “tanpa batas”.

Baca lebih lanjut